Monday 29 February 2016

, ,

A Reminder of Love, Passion, and the Harsh Truth


Beranjak usia, semakin sering kita melupakan how it feels to be passionate, how it feels to love, how it feels to have a dream. Entah pekerjaan, studi, atau kesibukan lainnya, tampaknya kita semakin sering tenggelam di dalamnya.

Mungkin hal tersebut yang saya rasakan di beberapa bulan terakhir ini, di suasana kuliah yang cukup padat. Tidak hanya itu, dari beberapa diskusi yang kami lakukan di kelas, beberapa peneliti dan dosen senior mulai memberikan pesan,

"Ideas are cheap, what hard is how to make it to the real world. And whether you accept it or not, it's all about who's going to make money out of it at the end. Trust me, I've been an idealist like all of you before"

A bold message. 

Wajah beliau tidak terlihat seakan mematahkan semangat kami, justru menantang kami untuk mengalahkan paradigma tersebut. Tapi, di tengah atmosfer akademisi yang selalu berusaha mencari cela dan celah di paper-paper yang kami baca, rasanya kami hanya menjadi robot untuk mencoba mengkritik ide dan mimpi orang lain.

A heartless robot with a sole purpose to give scrutiny to the work of others. Or is it?

Deep down in our hearts, we know its not true. We were just human. Makhluk ciptaan-Nya yang memiliki hati yang mudah dibolak-balikkan.

So I decided to do something new, a change of atmosphere. Saya belum pernah ke Japanese Film Festival sebelumnya, dan mereka akan screening sebuah film berjudul "5 Centimeter Per Second". Sebuah anime bergenre drama. I'm not a fan of drama, I can't remember the last time I watch a romance drama actually. Tapi, kenapa tidak? Mari kita coba sesuatu yang baru. Toh rating dan review film ini sangat bagus.

Ternyata saya tidak sendirian, ada 2 orang teman Indonesia yang juga tertarik untuk menonton screening film ini. Dan sebagai bonus, ada sushi dari konsulat jendral Jepang di akhir acara, hehe.

Acara dimulai dengan perkenalan dan sedikit penjelasan dari Japanese Literacy Club. "5 centimeter per second... the speed of a cherry blossom falls". Film ini mengambil filosofi dari bunga sakura, cantik dan indah, tapi hanya bisa dinikmati dalam waktu yang sangat singkat. Bangsa Jepang memaknai sakura sebagai simbol dari singkatnya kehidupan. Short and fragile.

Film ini terdiri dari 3 chapter. The first chapter is heartwarming, bagian kedua cukup slow, tapi semua orang menerima bahwa film ini adalah sebuah masterpiece. Bagian ketiga... hmm, this movie is so cruel. A cruel truth and so real, we can refer it to our real world.



Seperti kata teman saya, film ini tidak direkomendasikan bagi kamu yang sedang menjalani LDR. But, it is indeed a masterpiece. Makoto Shinkai telah berhasil membuat sebuah karya yang sangat indah secara grafis, dan sebuah emosi yang bisa kita rujuk di kehidupan kita. Meninggalkan sebuah rasa jengkel, kecewa, dan tanda tanya bagi penonton yang sudah selesai menonton film ini. Bukan karena ceritanya jelek (it's a good story, one of the best), tapi mungkin karena kita tidak mau menerima ending dari film ini, which is actually what we really experienced in our real life.

Nevertheless, it makes you think, and re-think about yourself.

Oke, no more spoiler. Selamat menonton!

  

0 comments :

Post a Comment